Sunday, May 3, 2009

BUNDA di Kampung Pemulung

" Mbak...cepet baca Republika hari ini hal.9 ! " begitu pesan singkat yang kuterima via sms. Aku yang masih muter-muter di Bantar Gebang mencari lahan baru untuk relokasi sekolah ( again ) cuma bisa mengernyitkan dahi. What's going on ? Ada apa dengan Republika hari ini....? Aku yang masih asyik jadi mandor pembangunan gubuk baru Laskar Pelangi jilid 2 di Bantar Gebang buru-buru sms kepada seorang teman.." Tolong dong beliin Republika hari ini, baca hal 9. Ada berita apa sih ? "
Tak lama kemudian ada sms masuk. " Wah, ada cerita Bunda di kampung pemulung "..Aku masih saja belum paham. Hah, Bunda siapa ? Aku belum sadar juga jika si mas wartawan yang telah menulis artikel itu ternyata rekan baikku sendiri yang tadi send message via sms. Memang naluri seorang wartawan, sharing or curhat apapun bisa jadi sebuah artikel. Hebatnya, tak perlu tatap muka or wawancara langsung, he..he..Pantas saja aku bingung kenapa pula ada berita di koran sementara aku tidak pernah merasa diinterview. Siangnya, si mas wartawan sms lagi. Beliau hanya berpesan singkat..." Mbak, jangan mau lho kalo ditawarin nyaleg Pilkada..". aku jawab dengan santai..." Walah, mboten Pak". Aku sadar diri dan lebih terpanggil menjadi guru di tempat kumuh yang jauh dari sorotan orang. Meski tanpa SK , tapi begitu luar biasa rasanya saat bisa berkumpul dengan murid-murid yang kusayangi. Apalagi saat mereka berebut minta dipeluk. Itu yang membuatku selalu merindukan mereka. Sekali lagi, artikel di Republika kali ini mohon jangan dipandang hanya sebagai sensasi publisitas semata. Di tajuknya tertulis ' ETOS '.....intinya, semoga apa yang tertuang di artikel ini bisa menularkan sebuah spirit kepada para pembaca, khususnya dalam berempati kepada masyarakat di lingkungan marginal, sesuai dengan itikad baik penulisnya. Bukankah begitu Pakde Nurbowo ? Matur nuwun sanget..he..he..mohon maaf akhirnya terbongkar juga identitas si ' Fakhri ' dari artikel ini....


ETOS
Jumat, 01 Mei 2009 pukul 00:28:00
Pak, anak saya mati lagi, muntah darah….’’ Belum lama ini Sari mengabarkan lewat SMS. Yang dia sebut sebagai anaknya itu adalah seorang bocah pemulung di Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat.Di kawasan Tempat Pem -buangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang, Sari Wibowo memang menjadi bunda bagi puluhan anak setempat. Sa pa -annya, peluk annya, oleh-oleh -nya, senantiasa dirin dukan para bocah. Mereka tak sung -kan berebut memeluk sang bunda, walau itu membuat ku sut jilbab bunda dengan cemong ingus dan bau sampah.Toh Sari enjoy aja. Tak begitu saja Sari bisa enjoy membenamkan diri dalam kubangan kehidupan kam pung pemulung. Kali pertama menginjakkan kaki di Bantar Gebang awal 2007, warga Perumahan Kemang Pratama Bekasi ini nyaris muntah.‘’Jalan tanahnya becek, li -cin berlumur lumpur hitam. Belatung-belatung kecil bermunculan dari setiap jengkal tanah yang kulewati. Ratusan lalat ijoyang kekar-kekar me -nyerbu dari segala penjuru,’’ kenang Sari sambil tersenyum kecut.Sekuat tenaga waktu itu Sari menahan mual. ‘’Jangan sam pai hamba muntah ya Allah, beri hamba kekuatan untuk mengabdi di sini,’’ batin Sari sambil terus meminum air kemasan yang dibawanya.Kedatangan ibu muda yang klimis, tak urung mengundang curiga warga setempat. ‘’Jangan-jangan dia menye lidiki untuk persiapan penggu -suran’’ atau ‘’Jangan-jangan dia meneliti untuk memindahkan TPA.’’Namun, keibuan Sari lamalama meluluhkan hati warga pemulung. Setelah beberapa kunjungan, ia mulai diterima. Kehadiran dan sepak terjangnya tidak dipertanyakan lagi. Bahkan disambut hangat. Mushola yang terbengkelai di Kelurahan Sumur Batu, Sari hidupkan sebagai TPA (Ta man Pendidikan Anak) Al Falah. Bermula dari beberapa bocah saja, santri Al Falah kini sudah menjadi 72 anak.Itu yang masih tersisa hidup. ‘’Beberapa anakku mati duluan. Ada yang karena ma kan baso kadaluwarsa, keracunan bangkai ayam, kena beling, muntaber, kurang makan….’’ Tangis Sari menghentikan kisah pilu bocah pemulung.Karena mushola sudah over-kapasitas, mulai Oktober 2008 Sari memindahkan TPA ke rumah seorang warga dengan sewa Rp 3,5 juta per tahun. Ia juga menggaji 8 guru dari koceknya sendiri, yang besarnya Rp 200.000 sampai Rp 300.000 per bulan. Mereka itu warga setempat juga.‘’Saya pernah beberapa kali coba mengajak relawan mengajar di sini. Tapi semuanya tak mampu bertahan lama menghadapi bau dan lalat,’’ ungkap Sari, yang di back-up penuh oleh sang suami. ‘’ Alhamdulillah,kini di Sumur Batu telah berdiri sebuah PAUD, TPQ dan Majelis Taklim Al Falah,’’ Sari bersyukur.September 2007, Sari mulai menggarap Kelurahan Serang, Bantar Gebang, untuk membentengi akidah warga pemulung. Maklum, di situ beroperasi sebuah yayasan diakonia, yang menjadikan sembako sebagai penukar iman.Sekali lagi berkat rahmat Ilahi, kini di Serang telah berlangsung TPA yang membina 30-an santri. Sedangkan ibu-ibu tak lagi terimingimingi sembako yayasan. Mereka memilih ngaji di Majelis Taklim bersama Bunda Sari.Mulai tahun ajaran 2008-2009, Al Falah menyelenggarakan Kejar Paket A (Setara SD), Paket B (Setara SMP) dan Paket C (Setara SMU) untuk anak pemulung yang putus sekolah dan nganggur. ‘’ Alhamdulillah, kini alumni PAUD Al Falah mengantongi ijazah dari Diknas. Tahun ini 12 murid Kejar Paket Al Falah mengikuti Ujian Nasional,’’ ujar Sari penuh haru.Lebih dari itu, dia sudah survey ke beberapa pesantren di Bogor untuk menitipkan alumni Al Falah. Sari ingin mereka kelak menjadi bapak dan bunda bagi adik-adiknya di Bantar Gebang. ‘’Anak pemulung boleh jadi ustadz kan?’’ tanya Bunda Sari. fakhri(-)
Index Koran