Wednesday, April 1, 2009

Publikasi di Kompas 29 Maret 2009

Pagi itu, 29 Maret 2009, dengan masih bersandal jepit dan memakai 'pakaian kebesaran' alias gamis rumahan, aku bersama suami tersayang sedang berburu nasi pecel di pinggir sebuah lapangan Rawalumbu, Bekasi. Tiba-tiba beberapa sms masuk ke hp ku. Telpon juga berdering-dering...dan semuanya mempertanyakan tentang pemberitaan sekolah pemulung bantar gebang yang dimuat di Kompas hari itu. To be honest, aku bingung karena memang tak berlangganan Kompas. Selain itu memang aku tidak tahu bahwa akhirnya kunjungan si mas wartawan beberapa minggu lalu akhirnya benar-benar menuangkan sebuah headline.

Alkisah....( he..he...kayak si Abunawas )... 2 minggu sebelumnya ketika aku baru saja turun dari mobil, anak-anak pemulung permata hatiku langsung berteriak-teriak mengerubutiku untuk memeluk dan menyalamiku, ritual yang wajib bagi anak-anak mungil ini. Tiba-tiba...jeprat jepret ada si mas wartawan ( belakangan baru aku tahu bahwa Beliau adalah wartawan foto Kompas [Agus Susanto] yang mampir ke Al-Falah Bantar Gebang, mungkin untuk sekedar mencari object foto). Sempat ngobrol sekilas tentang aktivitas Al-Falah namun aku sama sekali tidak mengira ini akan dipublikasikan karena tidak ada komunikasi sama sekali dengan wartawan tersebut. Bahkan kartu nama yang Beliau berikan pun kini hilang entah kemana. Padahal aku pengen banget mengucapkan terimakasih kepada Beliau karena foto anak-anak dan guru-guru sudah nampang dengan manisnya. Mendadak mereka pun layaknya selebritis yang langsung ditelpon sana sini oleh kerabat dan sahabat, he..he...

Semoga publikasi ini bukan ajang untuk riya', sum'ah, ujub maupun takabur dalam menjalankan aktifitas ini. Karena sejujurnya apa yang aku jalani ini belumlah sebanding dengan kedahsyatan jihad saudara saudariku mujahid & mujahidah sejati yang sudah sangat banyak menorehkan amal shalehnya. Apa yang kujalani hanyalah setapak demi setapak. Namun yang setapak ini semoga bisa bermanfaat bagi saudaraku yang ada di batas garis kemiskinan ini. Apa yang termuat dalam Kompas ini hanyalah sebuah gambar. Potret riil dari secuil kehidupan di TPA Bantar Gebang. Semoga siapapun yang melihat semangat anak-anak pemulung ini, akan terketuk hatinya dan berempati bahwa masih banyak saudara-saudara kita yang masih ada di ' bawah ' sana dan memerlukan uluran tangan kita. Jazakumulah khairan katsiran kepada teman-2 yang selama ini mendukung baik moril maupun materi.....

----------------------------------------------------------

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/29/04172648/sekolah.anak.pemulung.bantar.gebang


Dua Tenaga Pengajar
Minggu, 29 Maret 2009 04:17 WIB
Anak-anak berlarian tanpa alas kaki di beton yang mulai panas terkena terik matahari meski jam baru menunjukkan pukul 08.00. Mereka berlomba duluan mengambil sandal dari satu lingkaran dan menaruhnya ke lingkaran berikutnya.
Nur Jaya, pelajar Kejar Paket C yang juga tenaga pengajar, ikut meramaikan. Jabar, tenaga pengajar lain, baru datang kembali membawa kunci kelas yang tertinggal. Sementara Rina, istri Jabar yang juga tenaga pengajar, masih dikelilingi anak-anak balita yang mengikuti pendidikan anak usia dini (PAUD). Sari, Kepala Sekolah Al Falah, yang datang terakhir membawa bola dan susu segera dikerubuti anak-anak pemulung untuk disalami. Tri dan Dede, keduanya anak pemulung yang ikut dengan Jabar, segera membuka kelas.
Mereka berebut masuk kelas dan mencari meja lipat yang sudah ada namanya. Sekolah itu sebelumnya menumpang di musala di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang pada tahun 2007. Mulai Oktober 2008, Sari memindahkan sekolah dengan menyewa di luar TPA dari seorang warga sebesar Rp 3,5 juta per tahun. Sari juga membayar gaji delapan tenaga pengajar dari koceknya sendiri, besarnya Rp 200.000- Rp 300.000 per bulan.
Kesetiaan dan kepedulian tenaga pengajar mengalahkan nominal gaji tersebut. Anak didik pun antusias mengikuti tiap pelajaran. Lihatlah Maryam yang tetap bersemangat masuk sekolah meski kaki kanannya sobek terkena pecahan kaca dan hanya dibalut dengan kain bekas.
Setelah pukul 11.00, mereka pulang, sebagian besar akan mencari ”mainan”, sampah plastik keras semacam botol atau gelas minuman mineral di ”bulog” alias TPA Bantar Gebang. Siang itu hanya dua jam mereka mencari ”mainan” karena cuaca sangat panas. Biasanya mereka sampai sore hari.
Sebanyak 72 anak pemulung bersekolah di Al Falah (setara dengan Kejar Paket A) di Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Puluhan lainnya belajar di dua tempat di sekitar TPA tersebut. Mereka hidup bersama sekitar 1.700 keluarga pemulung yang mengandalkan tidak kurang dari 6.000 ton sampah baru dari DKI Jakarta yang dibuang ke TPA tersebut tiap harinya. Sehari rata-rata pemulung dewasa mendapatkan satu kuintal plastik basah dan dijual Rp 200 per kilogramnya.
Teks dan foto: Agus Susanto