Saturday, February 27, 2010

Namaku Agus Zakaria

Someday, ketika aku berhenti di rest area Tol Pasteur Bandung, mataku tertumbuk kepada sosok seorang anak muda yang sedang menyapu jalanan dengan sapu lidi.
Hanya sepintas ku melihatnya, rasanya sudah sangat cukup untuk membuatku harus mengenal anak muda ini. Anak muda berusia 19 tahun, cacat mental dan fisik. Tangan dan kakinya bengkok. Mulutnya juga tidak sempurna dalam mengucapkan sebuah kata pun. Di tangan kanan tergenggam sapu lidi dan tangan kirinya tergenggam serok sampah.
“ Namaku Agus Zakaria...” begitu dia memperkenalkan diri. Dengan susah payah dia menjelaskan bahwa dia bekerja di rest area itu untuk menghidupi kedua adik dan neneknya. Dengan gaji Rp 200.000,00 dia menanggung sendirian keluarganya yang masih tersisa karena dia adalah seorang yatim piatu...
Aku menghela nafas. Tiba-tiba ada yang terasa sangat sesak didadaku. Meski di depannya ku tersenyum dan terus memberinya semangat agar sabar dan terus bangkit, tetapi sungguh ku menangis tersedu-sedu di balik pintu mobil agar dia tak melihat tangisku...
Di saat begitu banyak fenomena orang-orang yang lebih suka tengadah tangan dan bermental beggaring, namun anak muda cacat ini begitu memiliki sebuah harga diri yang mulia untuk tidak menjadi peminta-minta maupun mengharapkan belas kasihan.

Sore itu, menjadi moment perkenalan yang manis antara aku dengan seorang seorang pemuda cacat yang mulia di mataku..Karena ku telah menemukan lagi seorang ‘anak’ yang patut kukasihi....

" Ibu tidak malu punya anak seperti Agus ? " ucapnya terbata-bata ketika aku ungkapkan bahwa aku menyayanginya seperti anakku sendiri dan aku pun memintanya untuk menyayangiku sebagai ibunya sendiri...
Mata bening yang terhampar di wajah cacat itu meminta jawabanku. Aku hanya bisa menangis sambil memeluknya....kutumpahkan juga perasaan iba dan sayangku yang tiba-tiba membuncah tak tertahankan.....
" Ibu menyayangimu, Nak...tak ada yang membuat ibu merasa malu memiliki anak seperti Agus. Kamu anak yang hebat. Kamu anak yang membanggakan Ibu...." aku usap wajah Agus yang dihiasi kulit legam karena kepanasan setiap hari menyapu rest area ini....

Dari dalam mobil, suami dan anak-anakku terdiam. Menatap tajam adegan mengharukan itu dengan hening....Kulambaikan tanganku kepada kedua mujahid mungilku Bagas dan Azriel....kubisikkan kepada mereka bahwa kini, telah ada lagi seorang ' kakak ' yang menjadi bagian dari hidup kami.....satu lagi bertambah anakku diantara ratusan anak-anak yang menjadi belahan hatiku pula.....




My name is Agus Zakaria ....
Someday, when I dropped by at rest area Tol Pasteur Bandung, my eyes fell to the figure of a young man who was sweeping the street with a broom stick.
I saw him only in passing, it was perfectly adequate for me to know him. The young 19-years-old, mentally and physically handicapped. Arms and legs bent. His mouth is also not perfect in saying a word. On the right hand grasped a broom stick, and his left hand grasped the garbage dustpan.
"My name is Agus Zakaria ..." he introduced himself. With difficulty he explained that he worked at the rest area to support two brothers and grandmother. With a salary Rp 200.000,00 he alone bears the remaining family because he was an orphan ...
I sighed. Suddenly there was a very pain in my chest. Although I smiled at him and continued to encourage him to be patient and continue to survive, but really I was sobbing behind the car door so he could not see my tears ...
At the time the phenomenon of so many people who prefer to look up their hands and mentally beggaring, but this young man is so handicapped has a noble dignity to not be a beggar and expect mercy. So cheerful when I explained that my husband was once a boarding house near the addressed around Husein Sastranegara.
This afternoon was a sweet moment for me with a young man with disabilities. I promised to regularly visit him 'cause I'm sure that I've found ' a son ' who deserves to be loved.