Saturday, February 27, 2010

Sepenggal kisah di balik gempa Jogjakarta


Pagi, sekitar pukul 05.50 WIB, aku masih berada di dalam sebuah hotel di Jakarta dalam rangka house hunting untuk mempersiapkan kepindahanku ke Jakarta. Tiba-tiba hp ku berdering. Di ujung sana kudengar ibuku berteriak-teriak mengabarkan bahwa Jogja sedang diguncang gempa hebat. Belum habis terkejutku, lalu klek...sambungan telpon terputus. Langsung aku menyalakan televisi....setelah mengikuti menit demi menit, jam demi jam, barulah aku tersadar bahwa gempa yang terjadi bukanlah ‘gempa biasa’...namun telah meluluhlantakkan sepanjang wilayah di sekitar daerah istimewa ini.
Ingin rasanya aku langsung terbang ke Jogja. Namun pesawat penuh. Satu-satunya jalan kami harus kembali ke Surabaya lalu pulang ke rumah, mengambil mobil dan memutuskan lewat jalan darat menuju Jogja. Keletihan tak terasakan lagi. Yang ada di benakku hanyalah segera ke Jogja dan memastikan seluruh keluargaku selamat.
Dengan membawa bahan makanan semobil penuh, kami meluncur ke Jogja. Melewati Klaten mulai terlihat rumah-rumah yang runtuh di sisi kanan jalan. Kulihat awan semakin pekat menggayuti kota Jogja. Airmataku mulai tumpah ketika kuikuti kisah-kisah pilu di radio setempat. Sesampainya di rumah ayah bundaku, kulihat mereka standby di halaman depan dengan wajah ketakutan. Mereka amat trauma untuk kembali ke rumah. Air bersih mulai habis. Pasokan listrik tidak ada. Bahan makanan menipis. Hujan deras masih mengguyur kota gudeg ini. Lalu aku bergesas menuju rumah kakakku di wilayah Piyungan yang mengalami kerusakan 90%....kulihat di kanan kiri jalan masih tergeletak beberapa mayat yang hanya ditutupi terpal. Tak ada lagi tangis di mata penduduk disana. Tatapan mata yang kosong ketakutan. Alhamdulillah kakakku sekeluarga juga selamat.
Singkat cerita, aku boyong semua anggota keluargaku ke Malang-Jawa Timur sampai situasi aman. Lalu seminggu kemudian aku kembali lagi ke Jogja dengan satu misi : sebagai relawan untuk mendistribusikan bantuan ke titik-titik rawan yang sulit terjangkau.
Kami berangkat sebagai team kecil. Hanya berempat ; aku, suamiku dan kedua sahabat kami. Dengan membawa 1 truck kontainer dan 2 pick up. Aku dan suami bergantian menyetir pick up yang nantinya akan dipergunakan untuk mendistribusikan bahan bantuan.Sedangkan truck kontainer sebagai gudang berjalan yang mengangkut bahan makanan, susu, petromax, terpal, buku-buku, pakaian, selimut, obat-obatan....
Shubuh kami sampai di Klaten. Barang-barang mulai kami turunkan dari truck. Dengan bantuan teman-teman dari ORARI dan ACT [ Aksi Cepat Tanggap] kami mulai memasuki wilayah Klaten di pelosok desa. Di ujung desa kulihat beberapa ibu-ibu pejabat sedang berfoto-foto dengan kegiatan sosialnya. Lalu kami meneruskan perjalanan menuju ujung desa dengan berjalan kaki karena tidak mungkin dilalui dengan kendaraan. Kami dibantu penduduk setempat untuk menggotong bahan makanan dan peralatan yang dibutuhkan. Jalan tanah semakin naik dan mendekati perbukitan. Sepi tak terlewati oleh relawan-relawan. Aku menggotong sebuah terpal dan petromax dengan terengah-engah. Sandal jepit yang kukenakan sungguh nyaman di kakiku di saat-saat seperti ini.
Kami susuri dari desa ke desa. Bila pick up tak mungkin membelah jalan, maka kaki-kaki kami harus siap gempor berjalan berkilo-kilometer membawa bahan bantuan. Begitulah seterusnya hingga kami tiba di wilayah Bantul. Ada beberapa kisah memilukan yang kutemui. Seorang ibu-ibu setengah baya diam terpekur dengan tatapan kosong. Dengan gontai dia menceritakan bahwa suami, kedua anakya dan keluarganya yang lain terkubur di dalam rumahnya. Kulihat hamparan genteng masih terlihat rata di atas tanah. Kisah lain, seorang anak kecil yang kehilangan kedua kakinya yang remuk dan harus diamputasi. Dia menangis meraung-raung dan ‘menggugat’ kepada ibunya kenapa dia tak lagi bisa berlarian seperti teman-temannya. Ada lagi seorang ibu muda yang melelehkan airmata dan meminta sekotak susu bayi untuk anaknya. Di saat aku mulai menaiki truck untuk berpindah ke wilayah lain, seorang bapak setengah baya terengah-engah setelah mengayuh sepeda onthel-nya berkilo-kilometer. Beliau seorang pengrajin wayang kulit. Dia bercerita bahwa di wilayahnya tak mendapat perhatian para relawan yang lalu lalang padahal mereka sangat membutuhkan bantuan. Segera bantuan dan peralatan yang mereka butuhkan kami turunkan dari truck dan kami distribusikan dengan pick up.
Begitulah seterusnya hingga tak terasa jam sudah menunjukkan pk.21.00 malam...kami sampai di wilayah Piyungan untuk menurunkan beras berkwintal-kwintal dan bahan bantuan lain serta peralatan yang mereka butuhkan. Kulihat sudah ada sebuah dapur umum berdiri di pinggir sawah yang dikelola oleh ibu-ibu setempat. Hujan rintik-rintik yang mengguyur mulai membasahi terpal-terpal yang menaungi para pengungsi. Tak terasa sudah hampir 2 hari aku tidak tidur...Malam itu juga kami kembali ke Jawa Timur dengan keletihan yang amat mendera. Perasaan pilu, empati dengan kepedihan saudara-saudara kami yang ada di tenda-tenda pengungsian, anak-anak yang mendadak menjadi yatim piatu, kehilangan anggota badan, ekonomi yang luluh lantak....semua kepedihan yang merupakan ujian yang indah dari Sang Rabb untuk kita renungkan...

Piece of the story behind the Yogyakarta earthquake

This morning, at around 05.50 am, I'd still be in a hotel in Jakarta in order to house hunting to prepare for my move to Jakarta. Suddenly, my handphone rang. I heard my mother shouting the news that an earthquake rocked Yogyakarta was great. I was shocked. In several seconds, telephone connection disconnected. I immediately turned on the television .... after following minute by minute, hour by hour, then I realized that the earthquake had happened was not 'normal earthquake' ... but it had destroyed all the area around this city.
I would like to fly to Yogyakarta. However, the full plane. The only way we should go back to Surabaya and then back to the house, took the car and decided by land to Yogyakarta. Fatigue no longer be felt. Which is in my mind was soon to Yogyakarta and ensure the entire family survived.
With a wad of cash and food full ride, we drove to Jogja. Klaten beginning to look past the houses that collapsed on the right side of the road. I saw the clouds thickened up Jogja. Tears started to spill when I followed the mournful stories on local radio. Arrived to my parent’s home, I saw them standby on the front yard with a frightened face. They were very traumatized to return to the house. Clean water was running out. No electricity supply. Depleted food. Heavy rain was still flushed this ‘gudeg city’. Then I depart to my brother's house in the area damaged BIF 90 %.... I saw on either side of the road still lay several bodies covered only by tarpaulins. No more tears in the eyes of the people there. Blank stare of fear. Thank God my family my sister also survived.
Finally, I decided to carry out all family members to Malang, East Java until the situation is safe. Then a week later I returned to Yogyakarta with a single mission: as a volunteer to distribute aid to the vulnerable points are difficult to reach.
We started off as a small team. Only four of us; me, my husband and our two friends. 1 truck carrying container and 2 pickups . I and my husband took turns driving the pickup that will be used to distribute the aid. Milk, petromax, tarpaulin, books, clothing, blankets, medicines .... etc
At 04.00 am we arrived in Klaten. Goods unloaded from the beginning of our truck. With the help of friends from ORARI and the ACT [Action Rapid Response] we started to enter the area of Klaten in remote villages. At the end of the village I saw some officials mothers were posed photographs with social activities. Then we continued on toward the end of the village on foot because it is impossible impassable by car. We assisted the local people to carry food and equipment needed. The dirt road up and approached the hills. No unserved by volunteers. I carry a tarp and petromax breathless. I wear flip-flops are really comfortable on my feet.
We enter & distribute the aid from village to village. If the pick up can not be split path, we must be ready walk for miles carrying relief material. So it went on until we arrived in Bantul area. There are some heartbreaking stories I've met a women middle-aged. A mother with a blank stare thoughtfully. With unsteady she told me that her husband, both her children and other family buried in his home. I saw the expanse of flat roof tiles are still visible above ground. Another story, a little kid who lost both legs broken and had to be amputated. She bawl and asked to his mother why she could no longer be running around like her friends. There's more of a young mother who melt her tears and asked for a carton of baby milk to their children. At the time I started up the truck to move to another area, a middle-aged man of breath after pedaling his bicycle miles. He was a craftsman wayang kulit. He told me that in his area did not get the attention of passing by volunteers when they need help. Immediate assistance and equipment they need we unloaded from the truck and we distribute a pickup truck.
So it went on until he was hours already shown at.09.00 pm (night) ... we got to the area to reduce the BIF quintals of rice and other relief materials and equipment they need. I saw there a common kitchen standing at the edge of rice fields. Drizzle that flushed from wet-canvas tarp shielding the refugees. I was tired and sleepy so much. For two days I didn’t sleep yet... That night we returned to East Java with a very whack fatigue. Feelings of grief, empathy with the pain of our families in refugee camps, the children who suddenly become orphans, losing limbs, which devastated the economy .... all the pain that is a beautiful examination of Allah to we think ...
.