Thursday, May 21, 2009

Tulisan seorang sahabat....

Aku teringat dengan tulisan seorang rekan pejuang pendidikan yang pakar menulis. Bpk Asep Sapaat. Beliau seorang trainer dari LPI Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa...Kala itu, di penghujung tahun 2007 Beliau mengirimkan pesan singkat via sms...
" Bu...saya terkesan dan sangat terharu dengan tulisan Ibu di saat Pelatihan Guru kemarin. Tulisan Ibu saya ambil untuk dimuat di harian Padang Express. Semoga bisa menginspirasi....."
Dua tahun telah lewat....tiba-tiba aku teringat dengan goresan penanya yang dimuat di harian Padang Express itu. Aku bongkar kembali file-file e mail ku...dan kusimak lagi kata demi kata yang Beliau tulis....aku bahkan sudah hampir lupa dengan tulisanku sendiri yang aku tuangkan di sesi evaluasi pada saat Pelatihan Guru itu....
Idealisme yang sejak dulu kupegang erat-erat. Idealisme yang dulu dan sekarang masih membuahkan cibiran...." Ah, kamu terlalu sayang dengan muridmu. Ah kamu sok idealis mentang-mentang sudah tak butuh duit. Ah kamu......" dan masih banyak cibiran yang kuterima karena idealismeku sebagai seorang ' guru ' meski sekarang tanpa SK.....
Apakah sebuah kesalahan bila seorang pendidik mengusung sebuah idealisme dan keikhlasan dalam mencintai murid-muridnya ? Bahkan aku pernah dicibir di kala aku tergopoh-gopoh menggendong muridku ( yatim&dhuafa) yang kakinya sobek untuk kularikan ke Puskesmas. No body help me. No body care about my student.....hatiku miris. Apakah hanya anak-anak orang kaya yang bersekolah di sekolah elit yang berhak mendapatkan kelembutan dan kasih sayang gurunya ? Atau sekedar senyum tulus untuk mereka ? Sapaan sayang untuk mereka ? Aku serasa ingin 'menggugat' ketidakadilan ini. Anak-anak dhuafa, anak-anak jalanan, anak-anak sampah atau anak-anak kaum marginal dimanapun berada adalah SAMA di mata Alloh...mereka sama-sama mutiara yang dititipkan kepada kita. Mereka berhak mendapatkan kasih sayang dan perhatian kita...
Duhai para pejuang pendidikan.....yang kita didik ini ibarat tanaman kecil yang harus kita rawat dengan kasih sayang. Kita siram dengan nilai-nilai kebaikan. Agar tanaman kecil ini kelak menjadi tanaman kokoh yang berakar kuat menghujam ke dalam bumi. Mendidik bukan hanya melakukan ' transfer ilmu '....tetapi juga ' transfer value '......dengan keikhlasan dan kasih sayanglah value itu akan mempu menghujam ke dalam qalbu anak-anak kita....
Aku bukanlah seorang pakar pendidikan. Aku menjalani semua ini based on naluriku sebagai seorang ' Ibu '.....dengan masih tertatih-tatih aku berusaha menimba ilmu dari para pakar pendidikan yang memang sudah mumpuni dalam dunia pendidikan. Aku berharap, secuil idealisme yang masih kugenggam erat-erat ini bisa menjadi mesiu yang akan menciptakan letupan yang indah bila dilandasi oleh ilmu yang tepat.
Semoga....secuil idealisme ini masih diterima dan bukan lagi sebuah aksesoris yang hanya dipasang di saat dilihat oleh orang agar terlihat indah...namun idealisme ini berpangkal dari kelurusan niat, bahwa yang kita didik ini adalah mutiara dari Alloh SWT....

---------------------------
Profesi Guru ”Memberi” Bukan ”Menerima”Padang Express Sabtu, 24-November-2007, 12:35: Oleh : Asep Sapa'at, Trainer Pendidikan Lembaga Pengembangan Insani Dompet Dhuafa

Ada tiga hal yang menggerakkan saya menuliskan tema ini. Pertama, kajian St. Suwarsono terkait tantangan-tantangan terhadap profesi keguruan dan implikasinya bagi pendidikan calon guru. Kedua, catatan reflektif saya ketika menjalani profesi sebagai guru. Ketiga, memotret profil diri guru-guru yang mengikuti training dari Makmal Pendidikan Lembaga Pengembangan Insani Dompet Dhuafa.
Secara de jure, guru dapat diakui sebagai sebuah profesi. Secara de facto, profesi guru hanyalah identitas semu belaka. Kurangnya dukungan finansial maupun non-finansial terhadap profesionalisme guru ditengarai sebagai indikator lemahnya kedudukan profesi guru dibanding profesi yang lainnya. Apakah situasi ini terjadi di Indonesia saja?
Mari kita tengok sekilas profil profesi guru di Amerika Serikat. Schwartz (1987), menyatakan bahwa lemahnya profesi keguruan ditandai dengan kurangnya kepercayaan dari masyarakat (public trust) dan penghargaan yang relatif rendah terhadap profesionalisme profesi guru. Dalam kajian serupa, Schug (1984), menyatakan bahwa gaji pertama seorang guru lulusan S1 rata-rata lebih rendah daripada rata-rata gaji pertama lulusan S1 bidang teknik, bidang akuntansi, bidang administrasi bisnis, dan bidang matematika. ”Teaching in our nation’s schools is a profession, but it is an undervalued and underpaid profession”, begitulah ungkapan Magrath (1987), mengungkapkan fakta kurangnya penghargaan terhadap profesi keguruan di AS.
”... no matter how brilliant the lesson I prepared, no matter how much I personally cared for learning, no matter how expressive the tools I brought to my classroom, little learning could occur when the students didn’t care to learn. Unable to learn for them, unable to sit at my desk and ignore them, I found the only solution for me was to quit teaching”, sebuah ekspresi rasa frustasi seorang guru di Amerika Serikat, menanggalkan status gurunya dan berhenti mengajar. Faktanya, setali tiga uang dengan kondisi di Amerika, profesi guru di Indonesia masih menjadi potret buram dari sebuah sistem pendidikan nasional. Wahai para guru yang terhormat, apa yang Anda pikirkan dengan fakta kurangnya penghargaan terhadap profesi Anda? Apakah Anda akan tetap eksis menjalani profesi guru atau mencari profesi lain yang lebih ‘bermartabat’? Visi Hidup ”Memberi

Seorang Guru yang Menginspirasi
”Apa masalah terbesar yang menghalangi Anda menjadi seorang guru profesional? Ceritakanlah semua keluhan yang Anda rasakan dan alami selama ini?” Dua pertanyaan tersebut saya ajukan kepada para guru yang mengikuti salah satu sesi training yang saya bawakan. Secara umum, respon yang diberikan para guru berkutat pada masalah kecilnya gaji, kurangnya kegiatan upgrading kualitas profesionalisme guru, keterbatasan fasilitas belajar, dan berbagai ungkapan kecewa lainnya dengan fakta tak terbantah rendahnya penghargaan terhadap profesi guru.
Satu guru ternyata memberikan respon jujur yang membuat saya terkesima, berbeda dari yang lain, dan seolah ingin memberikan satu pesan khusus.
“Honestly... bagi saya tidak ada big problem untuk meraih sebuah profesionalisme. Karena selama dalam diri kita ada semangat dan effort, all problem can be solved. Untuk meraih suatu peningkatan dan achievement memang diperlukan spirit, effort, skill, dan perlu adanya peluang untuk menjadi seorang yang lebih profesional. Saat ini yang paling saya butuhkan adalah ilmu dan kesempatan mengikuti berbagai pelatihan guru. Untuk 2 hal ini merupakan sesuatu yang bisa sedikit menghilangkan dahaga saya untuk selalu ingin melakukan hal-hal baru yang sesuai dengan jiwa saya.
Untuk keluhan, rasanya tidak ada. Paling-paling kadang keletihan fisik yang mendera. Tapi hal itu tidak akan melemahkan semangat saya karena saya melakukan pekerjaan saya atas dasar cinta. Jadi, jika berpijak atas dasar cinta dan keikhlasan, saya tidak melihat semua kesulitan sebagai hambatan, melainkan sebuah tantangan. Any way... yang terpatri di hati bahwa saya mencintai murid-murid saya, meski mereka anak-anak dhuafa, pemulung, dan lain-lain. Kata orang mereka bau, tapi di mata saya, mereka lah yang kelak akan mengharumkan surga jika saya mampu membimbing mereka menjadi anak yang sholeh dan berilmu. Mereka adalah mutiara dari Alloh... (WS)”
.
Menetes air mata di pipi saya, kagum dengan semangat berkorban dari guru yang satu ini. Bagai mencari jarum di tumpukan jerami, sulit menemui sosok guru hebat seperti itu di tengah zaman yang serba materialistis dewasa ini.
Kenyataan suram dunia profesi guru yang sering dipergunjingkan orang, di matanya justru merupakan tempat yang paling sempurna untuk menebar kebermanfaatan bagi semua orang, khususnya anak didiknya. Kondisi nyata yang terjadi adalah profesi guru sulit untuk dijadikan sumber kehidupan, yang paling mungkin, profesi guru merupakan sarana menebar manfaat untuk menyiapkan generasi masa depan yang lebih baik. Maju terus guruku, berikanlah semua karya terbaikmu buat bangsa ini dengan penuh keikhlasan. Selamat hari guru. (***)